Minggu, 22 Juni 2008

Tugas Kelompok : AKREDITASI KEGIATAN DAN HASIL BELAJAR

MAKALAH

AKREDITASI KEGIATAN DAN HASIL BELAJAR


Tugas Kelompok
Mata Kuliah Teknologi Informasi dan Komunikasi
(Dosen Pengampu : Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, M.Sc)


Di Susun Oleh :

Kelompok 3

1. DWI WAHYUINI
NIM : 0805136119
2. DWI WIBOWO
NIM : 0805136120
3. DWI SARI HARUMINGTYAS
NIM : 0805136121


PROGRAM PASCA SARJANA MANAJEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
TAHUN 2008


PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan secara bertahap kearah yang kita harapkan sesuai dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maka Pemerintah melakukan pengembangan dan sekaligus membangun sistem pengendalian mutu Pendidikan melalui tiga program yang terintegritasi yaitu Standarisasi, Akreditasi, dan Sertifikasi.

Akreditasi sekolah menjadi salah satu bagian yang penting dalam upaya memperoleh informasi tentang kondisi nyata suatu sekolah berdasarkan standar minimal, dan dilakukan secara adil dan merata baik sekolah Negeri maupun sekolah swasta.

Akreditasi dilakukan dalam rangka untuk menentukan kelayakan program dan satuan Pendidikan Sekolah pada setiap jenjang dan jenis Pendidikan. Pelaksanaan akreditasi dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk Akuntabilitas publik dalam rangka perjaninan mutu kepada publik.

Akreditas sekolah sangat perlu dilakukan sebagai Akuntabilitas kepada publik karena menggambarkan hasil yang telah dicapai oleh sekolah maupun upaya-upaya yang telah dilakukan oleh sekolah tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH

Makalah ini hanya membahas tentang akreditasi sekolah dan hasil belajar. Yang perlu kita pertanyakan adalah, benarkah ukuran akreditasi itu sudah standar, benarkah sekolah yang terakreditasi itu sudah memenuhi standar minimal dari ketentuan akreditasi sekolah. bagaimanakah suatu prosedur pengakreditasian suatu sekolah dilakukan Sudahkah memenuhi aturan yang seharusnya dilakukan dalam proses pengakreditasian tersebut dan setelah lembaga-lembaga sekolah telah diakreditasi bagaimana hasil keluaran yang diharapkan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan Permasalahan yang mungkin akan terletak pada masalah yang terakhir, prosedur pengakreditasian, jika prosedur pengakreditasian sudah cukup jelas dan memenuhi standar yang diharapkan.

C. PEMBAHASAN
a. Pengertian akreditasi sekolah
Akreditasi Sekolah adalah Suatu kegiatan penilaian kelayakan dan kinerja suatu sekolah berdasarkan kriteria (standar) yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh BAS (Badan Akreditasi Sekolah) yang hasilnya diwujudkan dalam bentuk pengkuan peringkat kelayakan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional 087/U/2002.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa tindakan menilai tingkat kelayakan setiap sekolah. Membandingkan keadaan suatu sekolah menurut kenyataan dengan kriteria (standar) yang telah ditetapkan. Jika menurut kenyataan lebih besar atau sama dengan standar maka dinyatakan terakreditasi. Jika menurut kenyataan lebih kecil daripada standar yang telah ditetapkan dinyatakan tidak terakreditasi. Sekolah yang terakreditasi dapat diperingkatkan menjadi tiga klasifikasi yaitu amat baik, baik, dan cukup.

b. Tujuan akreditasi sekolah
Akreditasi Sekolah bertujuan untuk :

1. Memberikan informasi bahwa sebuah sekolah atau program telah memenuhi standar kelayakan dan kinerja yang telah ditentukan
2. Membantu sekolah melakukan evaluasi diri dan menentukan kebijakan sendiri dalam upaya peningkatan mutu.
3. Membimbing calon pesrta didik, orang tua dan masyarakat untuk mengidentifikasi sekolah bermutu yang dapat memenuhi kebutuhan individu terhadap pendidikan termasuk mengidentifikasi sekolah yang memiliki prestasi dala suatu bidang tertentu
4. Memperoleh gambaran tentang kinerja sekolah yang dapat digunakan sebagai alat penbinaan, pengembangan dan peningkatan mutu.
5. Menentukan tingkat kelayakan dan kinerja suatu sekolah dalam penyelenggaraan pelayanan Pendidikan.

c. Masa Berlaku.
Masa berlaku akreditasi sekolah adalah 4 tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan. Sekolah wajib mengajukan akreditasi ulang paling lambat 6 bulan sebelum masa berlaku akreditasi berakhir. Bagi sekolah yang masa berlakunya telah berakhir dan menolak untuk diakreditasi ulang oleh BAS, maka status akreditasi sekolah yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku.
Akreditasi telah dilakukan sejak tahun 2002, sedangkan Sekolah yang telah diakreditasi sampai dengan tahun 2006 dari TK, SD, dan SMP se-Kabupaten Sleman sebanyak 534 sekolah dari 1.079 sekolah, dengan perincian yang telah diakreditasi TK 180 Sekolah dari 462 sekolah, SD 267 sekolah dari 514 sekolah dan SMP 87 sekolah dari 103 sekolah. Sekolah yang masih belum terakreditasi sebanyak 545 sekolah, dengan perincian TK 282 sekolah, SD 247 sekolah, dan SMP 16 sekolah


D. MANFAAT AKREDITASI SEKOLAH

1. Memberikan umpan balik bagi sekolah yang bersangkutan sehingga dapat dilakukan upaya-upaya perbaikan, pengembangan dan peningkatan kinerja sekolah.

2. Membantu masyarakat dalam menentukan pilihan sekolah melalui informasi tentang peringkat akreditasi sekolah.

3. Membantu pemetakan kelayakan dan kinerja sekolah secara Mikro, Meso dan Makro.

4. Membantu pengembangan sekolah melalui pemberian informasi tentang posisi sekolah tertentu terhadap sekolah lainnya, posisi Dinas Pendidikan tertentu terhadap Dinas Pendidikan lainnya. Dan sebagai informasi secara nasional tentang tingkat kinerja Pendidikan di Indonesia yang dapat digunakan untuk pembinaan, pengembangan dan peningkatan kinerja secara Mikro, Meso dan Makro.

Manfaat Akreditasi sekolah yang lebih spesifik lagi adalah hasil Akreditasi sekolah dapat dimanfaatkan oleh pelaku Pendidikan yaitu bagi sekolah, Kepala Sekolah, Guru, Masyarakat dan Orang Tua, Dinas Pendidikan dan Pemerintah.

1. Bagi Sekolah:
a. Acuan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan dan rencana pengembangan sekolah
b. Bahan masukan dan umpan balik usaha pemberdayaan pengembangan kinerja warga sekolahdalam menerapkan visi,misi, tujuan , sasaran , strategi, dan peningkatan status jenjang akreditasi sekolah.
c. Pendorong motivasi untuk terus meningkatkan kualitas sekolah
d. Pengakuan sebagi sekolah berkualitas
2. Bagi Kepala Sekolah :
a. Bahan informasi untuk pemetaan indikator keberhsilan warga sekolan dan kinerja kela sekolah.
b. Bahan masukan untuk penyusunan aggaran pendapatan dan belanja sekolah
3. Bagi Guru :
a. Dorongan untuk selalu meningkatkan diri memberikan layanan yang terbaik bagi siswanya.
b. Meningkatkan profesionalisme guru untuk memperoleh dan meningkatkan hasil akreditasi
4. BagicMasyarakat :
a. Informasi akurat untuk menyatakan kualitas pendidikan yang ditawarkan oleh sekolah
b. Menumbuhkan rasa percaya diri mereka memperoleh pendidikan yang baik dan berkualitas.

E. RUANG LINGKUP

Sekolah yang diakreditasi meliputi :

1. TK
2. TKLB
3. SD
4. SDLB
5. SLTP
6. SLTP LB
7. SMU
8. SMK
9. SMLB

F . SISTEM AKREDITASI SEKOLAH

Prinsip dasar yang dijadikan pijakan dalam melaksanakan Akreditasi sekolah adalah :

1. OBYEKTIF
2. EFEKTIF
3. KOMPREHENSIF
4. KEMANDIRIAN
5. KEHARUSAN

Peningkatan mutu dan Akreditasi sekolah
Untuk kepentingan akreditasi, mutu sekolah dilihat dari tingkat kelayakan penyelenggaraan sekolah dan sekaligus kinerja yang dihasilkan sekolah dengan mengacu pada komponen utama sekolah meliputi :
1. Kurikulum dan Proses belajar mengajar
2. Adminstasi / manajemen sekolah
3. Organisasi dan kelembagaan sekolah
4. Sarana prasarana
5. Ketenagaan
6. Pembiyayaan peserta didik
7. Peran serta masyarakat
8. Lingkungan sekolah


Secara umum hubungan antara kegiatan akreditasi dalam siklus peningkatan mutu sekolah dapat dilihat pada gambar berikut ini



Akreditasi ada masa berlakunya sehingga harus dievaluasi secara periodik untuk menjaga standar mutu dan kualitasnya.

Akreditasi pada prinsipnya merupakan pengakuan terhadap kualitas sekolah. Akreditasi ada masa berlakunya sehingga harus dievaluasi secara periodik untuk menjaga standar mutu dan kualitasnya. Akreditasi ini prinsipnya merupakan pengakuan terhadap kualitas sekolah. Akreditasi ini ada masa berlakunya sehingga harus dievaluasi secara periodik untuk menjaga standar mutu dan kualitasnya. Permasalahannya, bagaimana sekolah dapat menerapkan prinsip-prinsip akreditasi di dalam seluruh sistem penyelenggaraan kegiatan di sekolah didalam kurun waktu yang panjang. Bagaimana sekolah dapat menerapkan prinsip kejujuran, keterbukaan, keadilan, keunggulan mutu, profesionalisme, obyektifitas dan akuntabilitas. Semua prinsip ini merupakan konsep yang abstrak yang harus bisa diturunkan dalam ranah konkrit berupa kegiatan dan tindakan yang dapat diukur dan dilihat hasilnya.


G . KOMPONEN SEKOLAH YANG DIAKREDITASI

1. KURRIKULUM DAN PROSES BELAJAN MENGAJAR

2. ADMINISTRASI / MENEGEMEN SEKOLAH
a. Visi, Misi dan Tujuan Sekolah
b. Managemen
c. Kepemimpinan
d. Administrasi

3. ORGANISASI
a. Organisasi
b. Kelembagaan

4. SARANA PRASARANA

5. KETENAGAAN

6. PEMBIAYAAN / PENDANAAN

7. PESERTA DIDIK
a. PSB dan Pengembangan
b. Keluaran (Out put, Out come)

8. PERAN SERTA MASYARAKAT

9. LINGKUNGAN / KULTUR SEKOLAH
a. Lingkungan Sekolah
b. Kultur Sekolah

H. PENENTUAN PERINGKAT AKREDITASI SEKOLAH

Hasil Akreditasi Sekolah dinyatakan dalam peringkat Akreditasi Sekolah yang terdiri atas tiga klasifikasi, yaitu :
A ( Amat Baik )
B ( Baik )
C ( Cukup )
Bagi Sekolah yang hasil Akreditasinya kurang dari C dinyatakan tidak terakreditasi.


I. HASIL BELAJAR
Pengertian Evaluasi, Pengukuran, Tes dan Penilaian (Assessment)
Banyak orang mencampuradukkan pengertian antara evaluasi, pengukuran (measurement), tes, dan penilaian (assessment), padahal keempatnya memiliki pengertian yang berbeda. Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi berhubungan dengan keputusan nilai (value judgement). Stufflebeam (Abin Syamsuddin Makmun, 1996) memengemukakan bahwa : educational evaluation is the process of delineating, obtaining,and providing useful, information for judging decision alternatif . Dari pandangan Stufflebeam, kita dapat melihat bahwa esensi dari evaluasi yakni memberikan informasi bagi kepentingan pengambilan keputusan. Di bidang pendidikan, kita dapat melakukan evaluasi terhadap kurikulum baru, suatu kebijakan pendidikan, sumber belajar tertentu, atau etos kerja guru.
Pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan di mana seorang peserta didik telah mencapai karakteristik tertentu.
Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik.Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut. Tes adalah cara penilaian yang dirancang dan dilaksanakan kepada peserta didik pada waktu dan tempat tertentu serta dalam kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang jelas.
Ruang Lingkup Penilaian Hasil Belajar
Hasil belajar peserta didik dapat diklasifikasi ke dalam tiga ranah (domain), yaitu: (1) domain kognitif (pengetahuan atau yang mencakup kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika - matematika), (2) domain afektif (sikap dan nilai atau yang mencakup kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi, dengan kata lain kecerdasan emosional), dan (3) domain psikomotor (keterampilan atau yang mencakup kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spasial, dan kecerdasan musikal).
Adanya akreditasi ini juga menetukan hasil belajar peseta didik bagaiman proses, kemampuan dan dan tingkat prestasi apakah sesuai dengan yang diharapkan. Melalui evaluasi hasil belajar akan didapapat akan menjadi gambaran yang jelas tetang sekolah itu sendiri, kemajuan, dan mutu pendidikan tersebuat dapat dilihat. Sehingga untuk mendapatkan akreditas sekolah yang baik lembaga- lembaga sekolah akan berlomba – lomba untuk menentukan strategi dan cara peningkatkan hasil belajar peserta didiknya agar lebih meningkat dalam pencapaian hasil belajarnya, karena ini merupakan salah satu yang menjadi pandangan dan pertibangan bagi para orang tua siswa melihat mutu sekolah tersebuat.
Dalam Undang –Undang Dasar No.20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Indonesia Pasal 58 menerangkan bahwa “ Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk menentukan proses, kemajuan, dan perbaikan hasil peserta didik secara berkesinambungan dan evaluasi peserta didik, sayuan pendidikan dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan .


KESIMPULAN

Dengan adanya akreitasi sekolah akan memacu sekolah untuk terus melakukan perbaikan terus menerus baik sekolah yang telah terakreditasi baik maupaun yang masih rendah, perbaikan tersebuat meliputi semua aspek atntara lain kurikulum, administrasi, pembiyayaan, sarana prasarana, hasil belajar peserta didik dan lain- laian.
Dengan demikian apa yang diharapkan olah sekolah dapat terwujud dan dapat meningkatnya mutu pendidikan disekolah tersebut dan mencapai tujuan pendidikan nasional indonesia.

SARAN

Dari Makalah ini merupakan tugas kelompok dan diajukan sebagai bagian dari tugas akhir mata kuliah Tenolagi Informasi dan Komoniaksi dosen Pengampu Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, M.Sc. Penyusunan makalah ini banyak mengambil dari berbagai sumber bahan dari buku rujukan yang masih berkaitan.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan- kekurangan yang perlu diperbaiki dan diperlukan saran dan kritiknya, agar makalah ini lebih sempurna dan sangat berguna bagi kita semua. Saran dan kritik yang membangun sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah ini.
SUMBER PUSTAKA

Usman, Husaini.2006. Manajemen Tori, Praktik, dan Riset Pendidikans. Jakarta. Bumi Aksara
Hidayanto, Dwi Nugroho. 2007. Pemikiran Kependidikan dari Filsafat ke Ruang Kelas.
Yazid, Syafar, 2007. Peneliti Unila Paparkan Pengembangan Model Akreditasi
Sekolah.
http://www.unila.ac.id/.
.Akhmadsudrajat, 2008, Penilaian hasil belajar
http://www.akhmadsudarjar.wordpress.com/
______ 2003. Pedoman Akreditasi
http://www.bas.dikmentidki.go.id/

Kamis, 19 Juni 2008

Tugas : Epistemologi

Nama : Dwi Wahyuni

NIM : 0805136119

EPISTEMOLOGI

Cara Mendapatkan Pengetahuan yang Benar

PENDAHULUAN

Pengetahuan ada sejak manusia ada. Seiring waktu yang terus berputar tejadi perubahan sosial-kultur serta pola atau konsep berpikir yang berdampak pada perkembangan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Pengetahuan tidaklah sama dengan ilmu. Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk kedalamnya adalah ilmu. Bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar ? Masalah ini yang dalam kajian filsafati disebut epistemologi dan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah. Langkah-langkah dalam metode ilmiah dimulai dari perumusan masalah, penyusunan karangka berfikir, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis sampai kepada penarikan kesimpulan. Namun ternyata tidak semua masalah yang kita hadapi dapat dijawab dengan menggunakan metode ilmiah.

TUJUAN PENULIS

Melihat uraian singkat diatas, maka penulisan ini bertujuan antara lain :

1. Untuk mengetahui dan memahami lebih dalam tentang epistemologi yang dimulai dari mengetahui sejarah singkat pengetahuan.

2. Untuk mengetahui dan memahami metode yang digunakan dalam mendapatkan pengetahuan yang benar.

3. Untuk mengetahui sejauh mana metode ilmiah dapat membantu dalam memecahkan permasalahan yang kita hadapi.

KONSEP UTAMA YANG MUNCUL

Konsep Pertama “Jarum Sejarah Pengetahuan”

Pada masyarakat primitif, pembedaan antara berbagai organisasi kemasyarakatan belum tampak, yang diakibatkan belum adanya pembagian pekerjaan. Seorang ketua suku umpamanya, bisa merangkap hakim, penghulu yang menikahkan, panglima perang, guru besar atau tukang tenung. Seorang ahli di bidang peternakan

ayam akan dianggap ahli dalam masalah perkawinan, kebatinan, perdagangan, ekonomi, seks, kenakalan remaja dan entah apa saja.

Jadi kriteria persamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Pokoknya semua adalah satu apakah itu objeknya, metodenya atau kegunaannya, atau bersifat universal. Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental dengan beerkembangnya Abad Penalaran (The Age of Reason) pada pertengahan abad ke-17, sebelum Charles Darwin menyusun teori evolusinya kita menganggap semua mahluk adalah serupa yang diciptakan dalam waktu yang sama.

Dengan berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada pembedaan. Mulailah terdapat bembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan. Pohon pengetahuan mulai dibeda-bedakan paling tidak berdasarkan apa yang diketahui, bagaaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan. Salah satu cabang pengetahuan itu yang berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dalam segi metodenya, bahkan telah berkembang lebih dari 650 ranting disiplin keilmuan.

Fakta Unik dan Menarik

Akhir-akhir ini mulai terdapat lagi orang yang ingin memutar jarum sejarah kembali dengan mengaburkan batas- batas otonomi masing-masing disiplin keilmuan. Dengan dalih pendekatan inter-disipliner maka berbagai disiplin keilmuan dikaburkan batas-batasnya, perlahan-lahan menyatu dalam kesatuan yang berdifusi.

Pertanyaan yang Muncul

Apakah pendekatan inter-disipliner merupakan suatu keharusan dalam kita mengkaji sebuah ilmu ?

Analisis kritis

Pendekatan inter-disipliner memang merupakan suatu keharusan, namun dengan tidak mengaburkan otonomi masing-masing disiplin keilmuan yang telah berkembang berdasarkan route-nya masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma baru. Paradigma ini adalah bukan ilmu melainkan sarana berfikir ilmiah seperti logika, matematika, statistika dan bahasa. Jelaslah bahwa pendekatan inter-disipliner bukan merupakan fusi antara berbagai disiplin keilmuan yang akan

menimbulkan anarki keilmuan, melainkan suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu, dimana tiap disiplin keilmuan dengan otonominya masing-masing saling menyumbanghkan analisisnya dalam mengkaji objek yang menjadi telahaan bersama.

Konsep kedua “Pengetahuan”

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk kedalamnya ilmu, jadi ilmu merupakan bagian pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.

Pengetahuan ilmiah / ilmu dapat diibaratkan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Ilmu mencoba mancarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal. Akal sehat dan cara coba-coba mempunyai peranan penting dalam usaha menusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.

Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk diterima sebab pada dasarnya adalah akal sehat meskipun ilmu bukanlah sembarang akal sehat melainkan akal sehat yang terdidik. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk dipercaya sebab dia dapat diandalkan meskipun tentu saja tidak semua masalah dapat dipecahkan secara keilmuan. Itulah sebabnya kita masih memerlukan berbagai pengetahuan lain untuk memenuhi kehidupan kita sebab bagaimanapun majunya ilmu secara hakiki dia adalah terbatas dan tidak lengkap.

Pertanyaan yang Muncul

Bagaimana cara kita agar dapat mengembangkan ilmu yang mempunyai kerangka penjelasan yang masuk akal dan sekaligus mencerminkan kenyataan yang sebenarnya ?

Analisis Kritis

Berkaitan dengan pemikiran ini berkembang metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan

pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara konseptual metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana Muslim dan secara sosiologis dimasyarakatkan oleh Francis Bacon. Pengembangan metode eksperimen yang berasal dari Timur mempunyai pengaruh penting terhadap cara berfikir manusia sebab dengan demikian dapat diuji berbagai penjelasan teoritis apakah sesuai dengan kenyataan empiris ataukah tidak. Dengan demikian maka berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berfikir deduktif dan induktif.

Fakta Unik dan Menarik

Warisan Islam terhadap peradaban manusia dalam buku The History of the World karangan Rene Sedillot adalah “pembakaran perpustakaan dan penebangan hutan tanpa sejengkal tanah pun yang ditanami” padahal justru sebaliknya lewat terjemahan yang dilakukan pada peradaban Islam antara abad IX dan XII itulah maka filsafat Yunani bisa dibaca manusia sekarang ini. Demikian juga pertanian Spanyol umpamanya mendapatkan warisan peradaban Islam yang bermanfaat sampai hari ini yakni dalam bentuk sistem irigasi yang bersumber pada penghargaan bangsa Arab yang sangat tinggi terhadap air yang sangat langka di padang pasir.

Konsep Ketiga “Metode Ilmiah”

Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Metode ilmiah merupakan merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran. Dengan cara bekeja ini maka pengetahuan yang dihsilkan diharapkan mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruju yang menggabungkan cara berfikir deduktif dan induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya. Metodologi ilmiah merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode ilmiah. Metodologi ini secara filsafati termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan.

Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Pada saat kita menghadapi masalah maka proses kegiatan berpikir dibmulai, dan karena masalah ini berasal dari dunia empiris maka proses berpikir terseut diarahkan pada pengamatan objek yang bersangkutan yang bereksistensi dalam dunia empiris pula. Dalam menghadapi masalah, maka manusia memberikan reaksi yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan cara berpikir mereka.

Ada bermacam sumber dan cara mendapatkan pengetahuan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi.

Berdasarkan sikap manusia menghadapi masalah ini maka Van Peursen membagi perkembangan kebudayaan menjadi tiga tahap yakni tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. Tahap mistis adalah sikap manusia yang merasa dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya. Tahap ontologis adalah sikap manusia yang merasa dirinya tidak lagi terkepung oleh kekuatan gaib dan bersikap mengambil jarak dari objek di sekitarnya serta memulai melakukan penelaahan-penelaahan terhadap objek tersebut. Tahap fungsional adalah sikap manusia yang buakan saja merasa terbebas dari kepungan kekuatan gaib dan mempunyai pengetahuan berdasarkan penelaahan terhadap objek-objek di sekitar kehidupannya, namun lebih dari itu dia memfungsikan pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya.

Ilmu mulai berkembang pada tahap ontologis, dimanan manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah yang dihadapi yang memungkinkan manusia mengenal ujud masalah itu untuk kemudian ditelaah dan dicarikan pemecahan jawabannya. Secara ontologis ilmu membatasi masalah yang dikajinya hanya pad amasalah yang yang terdapat dalam ruang lingkup jangkauan pengalaman manusia. Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta.

Dalam melakukan pembuktian seorang ilmuwan pada mulanya bersifat skeptis (selalu meragukan segala sesuatu) namun diakhiri dengan percaya atau tidak percaya. Hal ini berbeda dengan penelaahan bidang lain, umpamanya agama, dimana pengkajian agama dimulai dengan percaya dan diakhiri dengan makin percaya atau mungkin jadi ragu.

Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :

1. Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya,

2. Penyusunan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk konstelasi permasalahan

3. Rumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang dijukan.

4. Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis,

5. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah suatu hipotesis yang diajukan ditolak atau diteima.

Fakta Unik dan Menarik

Ilmu yang bersifat konsisten karena penemuan yang satu didasarkan pada penemuan sebelumnya ternyata tidak seluruhnya benar, karena sampai saat ini belum satupun dari sekuruh disiplin keilmuan yang telah berhasil menyusun satu teori yang konsisten dan menyeluruh. Sejarah ilmu telah mencatat betapa banyak kebenaran ilmiah dimasa lalu yang sekarang ini tidak dapat diterima lagi karena manusia telah menemukan kebenaran lain yang ternyata lebih dapat diandalkan.

Pertanyaan yang Muncul

Apakah kelebihan sekaligus kekurangan dari hakikat ilmu itu ?

Analisis Kritis

Sifat pragmatis dari ilmu yang sebenarnya menjadi kelebihan dan sekaligus kekurangan dari hakikat ilmu. Sikap pragmatis dari ilmu adalah cocok dengan perkembangan peradaban manusia di mana telah terbukti secara nyata peranan ilmu dalam membangun peradadaban tersebut. Ilmu, terlepas ari berbagai kekurangannya, dapat memberikan jawaban positif terhadap permasalahan yang dihadapi manusia pada waktu tertentu.

Ilmu memandang kebenaran sebagai tujuan yang mungkin dapat dicapai namun tak pernah sepenuhnya tangkapan kita itu sampai. Seperti dikatakan oleh pujangga Hasan Mustapa : manusia itu jarang betulnya, kalaupun betul sekedar kebetulan ; manusia itu jarang salahnya, kalaupun salah sekedar kesalahan. Mungkin dalam situasi seperti inilah maka menonjol sekali sikap moral dan intelektual ilmuwan terhadap kebenaran dengan cara yang sejujur-jujurnya.

Untuk hal-hal yang bersifat asasi, manusia membutuhkan kemutlakan dan buka sekedar sesementaraan yang bersifat relatif. Dalam hal ini maka ilmu dengan segala atributnya tidak dapat memberikan jalan keluar dan manusia harus berpaling kepada sumber lain yakni agama. Mereka yang sungguh-sungguh berilmu adalah mereka yang mengetahui kelebihan dan kekurangan ilmu. Di atas dasar itu, mereka

menerima ilmu sebagaimana adanya, mencintainya dengan bijaksana serta menjadikan dia bagian dari kepribadian dan kehidupannya.

Konsep Keempat “Struktur Pengetahuan Ilmiah”

Anggapan bahwa ilmu dikembangkan hanya oleh para jenius saja yang bergerak dalam bidang keilmuan tidaklah benar. Ilmu secara kuantitatif dikembangkan oleh masyarakat keilmuan secara keseluruhan, meskipun secara kualitatif beberapa orang jenius seperti Newton atau Einstein merumuskan landasan-landasan baru yang bersifat mendasar. Pengetahuan ilmiah pada hakikatnya mempunyai tiga fungsi, yakni menjelaskan, meramalkan dan mengontrol. Tantum possumus, ujar Francis Bacon, quatum scimus.

Secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan yakni deduktif, probabilistik, fungsional atau teleologis, dan generik. Penjelasan deduktif mempergunakan cara berpikir deduktif dalam menjelaskan suatu gejala dengan menarik kesimpulan secara logis dari premis yang diajukan sebelumnya. Penjelasan probabilistik merupakan penjelasan yang ditarik secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan kepastian seperti penjelasan deduktif melainkan penjelasan yang bersifat peluang “kemungkinan”. Penjelasan fungsional atau teleologis merupakan penjelasan yang melaetakkan sebuah unsur dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah perkembangan tertentu. Penjelasan genetik merupakan faktor-faktor yang timbul sebelumnya dalam menjelaskan gejala yang muncul kemudian.

Beberapa disiplin keilmuan sering mengembangkan apa yang disebut postulat dalam menyusun teorinya. Postulat merupakan asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa pembuktiannya. Kebenaran ilmiah pada hakikatnya harus disahkan lewat sebuah proses yang disebut metode keilmuan. Postulat ilmiah ditetapkan tanpa melalui prosedur ini melainkan ditetapkan secara begitu saja.

Pertanyaan yang Muncul

Secara filsafati sebenarnya eksisitensi postulat tidak sukar untuk dimengerti, namum kehadirannya menyimpang dari prosedur yang ada, sebab bukankah sebuah argumentasi harus didasarkan kepada sesuatu ? Seperti kita ingin mengelilingi sebuah lingkaran maka kita harus mulai dari sebuah titik, dan postulat adalah ibarat sebuah titik dalam lingkaran yang eksistensinya kita tetakan secara sembarang.

Analisis Kritis

Walaupun demikian mesti terdapat alasan yang kuat dalam menetapkan sebuah postulat. Seperti kita memili dari titik mana kita akan mulai mengelilingi sebuah lingkaran tentu saja kita mempunyai alasan mengapa kita mulai dari titik B dan bukan dari titik A. Namun sebagai postulat kita tidak membuktikan bahwa titik B adalah benar dan titik A adalah salah, melainkan sekedar menjelaska bahwa sekiranya kita mulai dari titik A yang kebetulan koordinatnya membentuk sudut nol derajat dengan sumbu vertikal lingkaran, maka kita akan berhenti pada sebuah titik tertentu. Tentu saja sekiranya kita mulai dari titik yang lain maka kita akan berakhir pada titik yang berbeda pula.

Sebuah postulat dapat diterima sekiranya ramalan yang bertumpu kepada postulat kebenarannya dapat dibuktikan. Bila postulat dalam pengajuannya tidk memerlukan bukti tentang kebenarannya maka hal ini berlainan dengan asumsi yang harus ditetapkan dalam sebuah argumentasi ilmiah. Asumsi harus merupakan pernyataan yang kebenarannya dapat diuji secara empiris.

Fakta Unik dan Menarik

Penelitian yang bertujuan untuk menemukan pengetahuan baru yang sebelumnya belum pernah diketahui dinamakan penelitian murni atau penelitian dasar. Asedangkan penelitian yang bertujuan untuk mempergunakan pengetahuan ilmiah yang telah diketahui untuk memecahkan masalah kehidupan yang bersifat paktis dinamakan penelitian terapan.

Diperlukan waktu yang cukup lama untuk menerapkan penemuan-penemuam ilmiah yang baru kepada pemanfaatan yang berguna. Terdapat selang waktu 250 tahun antara percobaan yang pertama tentang magnet oleh William Gilbert dengan dikembangkannya teori elektromagnetik oleh James Clerk Maxwell sekitar tahun 1870. Penemuan Henri Bacquerel tentang sinar-x baru dapat diterapkan dalam praktek setelah 25 tahun kemudian.

REFLEKSI DIRI SETELAH MEMBACA

Setelah membaca, memahami dan menelaah kajian epistemologi, maka saya menjadi tahu dan sedikit memahami bagaimana cara mendapatkan pengetahuan secara benar. Dalam menyusun pengetahuan secara benar, menggunakan akal sehat yang terdidik dan mengembangkan penalaran, sebab dalam kehidupan yang nyata

banyak masalah yang dihadapi memerlukan pemecahan secara arif dan bijaksana dengan pendekatan filsafati dan agama.

Walaupun metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, tetapi metode ilmiah tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan yang tidak termasuk kelompok ilmu, yaitu matematika dan bahasa. Matematika bukanlah ilmu melainkan pengetahuan yang merupakan sarana berpikir ilmiah sedangkan bahasa ( bidang sastra) termasuk kepada humanoria yang jelas tidak tidak menggunakan metode ilmiah dalam menyusun pengetahuannya.

Ilmu memandang kebenaran sebagai tujuan yang mungkin dapat dicapai namun tak pernah tak pernah sepenuhnya tangkapan itu sampai.Hal ini dapat dimaknai bahwa berbicara tentang kebenaran secara teori memang mudah, tetapi dalam prakteknya berbicara tentang kebenaran belum sepenuhnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari hal ini tidak mustahil dapat terwujud apabila dalam diri kita telah ternaman akhlak dan moral kejujuran dalam setiap tindakan.

FILSAFAT ILMU

Sebuah Pengantar Populer

Tahun Terbit Juli 2007

Biografi Pengarang

Jujun Suparjan Suriasumantri, lahir di Tasikmalaya tanggal 9 April 1940. Setelah melalui pendidikan SD V,SMP III dan SMA II yang semuanya berada di Bandung, Kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor (IPB), dan lulus dalam tahun 1969. selama menjadi mahasiswa aktif dalam berbagai kegiatan nonkeilmuan seperti ketua teater, sutradara drama, ketua mampran IPB, dirigen orkes angklung IPB dan aksi-aksi mahasiswa. Pada tahun 1971 melanjutkan studi ke Harvard University dengan beasiswa Unesco dan lulus sebagai Doktor dalam Perencanaan Pendidikan dengan spesialisasi sistem analisis dan PPBS dalam tahun 1975.

Pengalaman dalam pekerjaan antara lain sebagai teaching assistant (1972) dan research assistant (1973) di Harvard University, dosen tataniaga (1969-1971) dan manajemen (1975-1980) di IPB, staf ahli pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) Departemen P dan K (1975-1980) dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Panitia Penyusunan Rencana Strategi (1976) dan Repelita-III (1976-1978) Depdikbud, anggota Kelompok Kerja bidang Kebudayaan Mendikbud (1984), anggota Kelompok Kerja Pengumpulan Materi GBHN 1988 Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1985) serta dosen Metodologi Penelitian di Seskoal (sejak 1981) dan Lemhannas (sejak 1982). Sekarang menjabat sebagai Pembantu Rektor bidang Akademik dan Ketua Program Doktor Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta.

Buku yang telah diterbitkan adalah Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Gramedia, 1978), Systems Thinking (Bandung: Binacipta, 1981) dan A Perspective of PPBS in the United States Federal Government Agencies: Lessons from Experience (Bandung: Binacipta, 1981). Keanggotaan profesional termasuk Operations Research Society of America (ORSA), Phi Delta Kappa, International Society of Educational Planners, the institute of Management Science dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial.

Menikah dengan Nina Dachliana dan berputra Donni Iqbal Suriasumantri.

Tugas : Cooperative Learning

NAMA : DWI WAHYUNI

NIM : 0805136119

COOPERATIVE LEARNING

A. PENDAHULUAN

Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran. Cooperative Learning juga bisa dimaknai sebagai strategi mengajar yang berhasil dalam kelompok kecil, setiap siswa dapat meningkatkan kemampuan yang berbeda, dan menggunakan variasi aktivitas mengajar untuk memperbaiki pengertian mereka tentang subyek. Setiap anggota kelompok dapat merespon tidak hanya untuk belajar apa itu mengajar tetapi juga untuk membantu kelompok belajar, dengan demikian dapat menciptakan atmosfer prestasi. Siswa berkewajiban bekerja sampai selesai dan semua anggota kelompok berhasil mengerti secara lengkap.

Unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut (Lungdren, 1994).

a. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama.”

b. Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.

c. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.

d. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab di antara para anggota kelompok.

e. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.

f. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar.

g. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

Menurut Thompson, et al. (1995), pembelajaran kooperatif turut menambah unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran sains. Di dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dan 4 atau 6 orang siswa, dengan kemampuan yang heterogen. Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dan campuran kemampuan siswa, jenis kelamin, dan suku. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya. Pada pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan (Slavin, 1995). Alasan digunakannya Cooperative Learning : Penelitian memperlihatkan teknik Cooperatif Learning

§ Menaikkan motivasi belajar siswa dan prestasi siswa.

§ Menambahkan ingatan siswa.

§ Mempertinggi kepuasan siswa dengan pengalaman belajar mereka.

§ Membantu siswa mengembangkan keterampilan dan komunikasi.

§ Menaikkan harga diri siswa.

B. CIRI - CIRI PEMBELAJARAN KOOPERATIF

Beberapa ciri dan pembelajaran kooperatif adalah; :

(a) Setiap anggota memiliki peran.

(b) Terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa.

(c) Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman- teman sekelompoknya.

(d) Guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok.

(e) Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan (Carin, 1993).

Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif sebagaimana dikemukakan oleh Slavin (1995), yaitu penghargaan kelompok, pertanggungjawaban individu, dan kesempatan yang sama untuk berhasil.

a. Penghargaan kelompok

Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan kelompok didasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan antar personal yang saling mendukung, saling membantu, dan saling peduli.

b. Pertanggungjawaban individu

Keberhasilan kelompok tergantung dan pembelajaran individu dan semua anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada aktivitas anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya secara mandiri tanpa bantuan teman sekelompoknya.

c. Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan

Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skoring yang mencakup nilai perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dan yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik yang berprestasi rendah, sedang, atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya. Keunggulan menggunakan pembelajaran kooperatif adalah saling menguntungkan semua anggota kelompok:

§ Keuntungan dan setiap peserta dengan peserta yang lain (Sukses anda menguntungkan saya dan sukses saya menguntungkan anda).

§ Mengakui semua anggota kelompok sebagai bagian dan team (Kita semua tenggelam atau berenang bersama di sini,).

§ Mengetahui satu penampilan adalah disebabkan kerjasama dengan yang lain dan anggota kelompok (Kami ada karena anda).

§ Merasa bangga dan bergabung merayakan bila anggota kelompok meraih prestasi (Kita semua mengucapkan selamat pada yang berprestasi).

Elemen-elemen Cooperative Learning

Hanya di bawah kondisi tertentu prestasi Cooperative dapat diharapkan Lebih produktif dan pada kompetitif dan prestasi individualistic. Kondisi tersebut adalah:

1. Saling ketergantungan positif (tenggelam atau berenang bersama)

§ Setiap sukses anggota kelompok adalah wajib dan mutlak.

§ Setiap anggota kelompok memiliki sumbangan unik untuk membuat prestasi gabungan karena sumber/bahan dan padanya dan atau kemampuan menjawab peranan dan tugas.

2. Interaksi face to face (menaikkan setiap sukses yang lain)

  • Menerangkan secara lisan bagaimana memecahkan problem.
  • Mengajarkan ilmu pengetahuan kepada yang lain.
  • Mengecek pengertian.
  • Mendiskusikan konsep yang dipelajari.
  • Menghubungkan belajar saat ini dengan yang lalu.

3. Akuntabilitas individual dan kelompok (Tidak ada seorang yang membonceng! Tidak ada kemalasan sosial)

  • Pemeliharaan ukuran kelompok kecil, semakin kecil ukuran kelompok maka akuntabilitas individual dapat menjadi lebih besar.
  • Memberikan tes individual pada setiap kelompok.
  • Secara random menguji siswa secara lisan.
  • Mengobservasi setiap kelompok dan mencatat frekuensi dengan kontribusi setiap anggota pada kerja kelompok.
  • Mengangkat seorang siswa dalam setiap kelompok yang berperan sebagai pemeriksa, yang bertugas menanyakan anggota kelompok yang lain untuk menerangkan pertimbangan yang masuk akal atas keraguan jawaban kelompok.
  • Mengijinkan siswa mengajar apa yang mereka pelajari kepada temannya yang lain.

4. Interpersonal dan keterampilan kelompok kecil

Keterampilan sosial harus mengajarkan

  • Kepemimpinan.
  • Pengambil keputusan.
  • Membangun kepercayaan.
  • Komunikasi.
  • Keterampilan manajemen konflik.

5. Pengolahan kelompok

  • Anggota kelompok mendiskusikan bagaimana sebaiknya mereka mencapai tujuan mereka dan mempertahankan hubungan kerja yang efektif.
  • Mendiskripsikan perbuatan kelompok yang bermanfaat dan tidak bermanfaat.
  • Membuat keputusan tentang perilaku apa yang dilanjutkan atau di rubah.

C. TUJUAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF

Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok tradisional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dan pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994). Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai sekurangnya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al.(2000), yaitu:

a. Hasil belajar akademik

Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.

b. Penerimaan terhadap perbedaan individu

Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dan orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dan berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.

c. Pengembangan keterampilan sosial

Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting diiniliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.

D. KETRAMPILAN KOOPERATIF

Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa atau peserta didik juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan membangun tugas anggota kelompok selama kegiatan. Keterampilan-keterampilan selama kooperatif tersebut antara lain ssebagai berikut.

(Lungdren, 1994)

a. Keterampilan Kooperatif Tingkat Awal

1). Menggunakan kesepakatan

Yang dimaksud dengan menggunakan kesepakatan adalah menyamakan pendapat yang berguna untuk meningkatkan hubungan kerja dalam kelompok.

2). Menghargai kontribusi

Menghargai berarti memperhatikan atau mengenal apa yang dapat dikatakan atau dikerjakan anggota lain. Hal ini berarti harus selalu setuju dengan anggota lain, dapat saja kritik yang diberikan itu ditujukan terhadap ide dan tidak individu.

3). Mengambil giliran dan berbagi tugas

Pengertian ini mengandung arti bahwa setiap anggota kelompok bersedia menggantikan dan bersedia mengemban tugas/tanggung jawab tertentu dalam kelompok.

4). Berada dalam kelompok

Maksud di sini adalah setiap anggota tetap dalam kelompok kerja selama kegiatan berlangsung.

5). Berada dalam tugas

Yang dimaksud berada dalam tugas adalah meneruskan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, agar kegiatan dapat diselesaikan sesuai waktu yang dibutuhkan.

6). Mendorong partisipasi

Mendorong partisipasi berarti mendorong semua anggota kelompok untuk memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok.

7). Mengundang orang lain

Maksudnya adalah meminta orang lain untuk berbicara dan berpartisipasi terhadap tugas.

8). Menyelesaikan tugas tepat waktu

9). Menghormati perbedaan individu

Menghormati perbedaan individu berarti bersikap menghormati terhadap budaya, suku, ras atau pengalaman dan semua siswa atau peserta didik.

b. Keterampilan Tingkat Menengah

Keterampilan tingkat menengah meliputi menunjukkan penghargaan dan simpati, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara dapat diterima, mendengarkan dengan arif, bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan, mengorganisir, dan mengurangi ketegangan.

c. Keterampilan Tingkat Mahir

Keterampilan tingkat mahir meliputi mengelaborasi, memeriksa dengan cermat, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan, dan berkompromi.

E. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN KOOPERTIF

Urutan langkah-Langkah prilaku guru menurut model pembelajaran kooperatif yang diuraiakan oleh Arends (1997) adalah sebagaimapa terlihat pada tabel berikut:

FASE

TINGKAH LAKU GURU

Fase 1:
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.

Fase 2:
Menyajikan informasi

Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.

Fase 3:
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.

Fase 4:
Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.

Fase 5:
Evaluasi

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

Fase 6:
Memberikan penghargaan

Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

Terdapat enam fase utama dalam pembelajaran kooperatif (Arends, 1997). Pembelajaran dalam kooperatif dimulai dengan guru menginformasikan tujuan dan pembelajaran dan mernotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti dengan Penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal. Kemudian dilanjutkan langkah-langkah di mana siswa di bawah bimbingan guru bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung. Fase terakhir dan pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir kelompok atau mengetes apa yang telah dipelajari oleh siswa dan pengenalan kelompok dan usaha-usaha individu.

F. PENDEKATAN DALAM PEMBELAJARAN KOOPERATIF

Walaupun prinsip dasar pembelajaran kooperatif tidak berubah, terdapat beberapa variasi dan model tersebut. Ada empat pendekatan pembelajaran kooperatif (Arends, 2001). Di sini akan diuraikan secara ringkas masing-masing pendekatan tersebut.

a. Student Teams Achievement Division (STAD)

STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkin dan merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Guru yang menggunakan STAD, juga mengacu kepada belajar kelompok siswa, menyajikan informasi akadamik baru kepada siswa setiap minggu menggunakan presentasi verbal atau teks. Siswa dalam suatu kelas tertentu dipecah menjadi kelompok dengan anggota 4-5 orang, setiap kelompok haruslah heterogen, terdiri dan laki-laki dan perempuan, berasal dan berbagai suku, memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Anggota tim menggunakan lembar kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk menuntaskan materi pelajarannya dan kemudian saling membantu satu sama lain untuk memahami bahan pelajaran melalui tutorial, kuis, satu sama lain dan atau melakukan diskusi. Secara individual setiap minggu atau setiap dua minggu siswa diberi kuis. Kuis itu diskor, dan tiap individu diberi skor perkembangan. Skor perkembangan ini tidak berdasarkan pada skor mutlak siswa, tetapi berdasarkan pada seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor yang lalu. Bentuk lain dengan pendekatan STAD yakni dengan pendekatan Patners (pasangan) dengan pola sebagai berikut:

Ø Kelas dibagi ke dalam 4 tim.

Ø Pasangan bergerak pada satu sisi ruangan.

Ø Setengah dan tim memberikan bahan agar diajarkan kepada separuh tim yang lain.

Ø Pasangan kerja mempelajari dan dapat mengkonsultasikan dengan pasangan kerja yang lain pada materi yang sama.

Ø Tim kembali bersama dengan setiap set dan pasangan mengajar set yang lain.

Ø Tim mengadakan kuis dan tutor kelas.

Ø Tim mereview belajar mereka dan memperbaiki proses belajarnya.

Setiap minggu pada suatu lembar penilaian singkat atau dengan cara lain, diumumkan tim-tim dengan skor tertinggi, siswa yang mencapai skor perkembangan tinggi, atau siswa yang mencapai skor sempurna pada kuiskuis itu. Kadang-kadang seluruh tim yang mencapai kriteria tertentu dicantumkan dalam lembar itu.

b. Investigasi Kelompok

Investigasi kelompok mungkin merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling kompleks dan paling sulit untuk diterapkan. Model ini dikembangkan pertama kali oleh Thelan. Berbeda dengan STAD dan jigsaw, siswa terlibat dalam perencanaan baik topik yang dipelajari maupun bagaimanajalannya penyelidikanmereka. Pendekatan ini memerlukan norma dan struktur kelas yang Lebih rumit daripada pendekatan yang Lebih terpusat pada guru. Dalam penerapan investigasi kelompok ini guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok dengan anggota 5 atau 6 siswa yang heterogen. Dalam beberapa kasus, kelompok dapat dibentuk dengan mempertimbangkan keakraban persahabatan atau ininat yang sama dalam topik tertentu. Selanjutnya siswa memilih topik untuk diselidiki, melakukan penyelidikan yang mendalam atas topik yang dipilih itu. Selanjutnya menyiapkan dan mempresentasikan laporannya kepada seluruh kelas. Bentuk-bentuk pendekatan investigatif meliputi:

2. Three step interview (tiga langkah interview)

Ø Setiap anggota kelompok memilih anggota yang lain sebagai pasangan.

Ø Langkah pertama : menginterview pasangan mereka dengan bertanya kejelasan pertanyaan.

Ø Langkah kedua : berbalik peranan, pasangannya ganti menginterview.

Ø Langkah ketiga : anggota memberi tanggapan pasangan mereka dengan kelompok.

3. Three Ininute Review (ulangan tiga menit)

Guru menghentikan beberapa waktu selama pelajaran atau diskusi dan memberikan waktu tiga menit kepada kelompok untuk mengulang apa yang dikatakan, menanyakan kejeasan pertanyaan atau jawaban pertanyaan.

4. Round Robin Brainstorming.

Ø Kelas dibagi ke dalam kelompok kecil (4 sampai 6) dengan satu orang ditunjuk sebagai pencatat.

Ø Sebuah pertanyaan dengan beberapa jawaban dan siswa diberi waktu untuk berpikir tentang jawaban.

Ø Setelah waktu berpikir, anggota dan kelompok memberi tanggapan dengan yang lain model Round Robin.

Ø Pencatat menulis jawaban anggota kelompok.

Ø Setiap siswa kemudian mulai mencatat dan setiap siswa dalam kelompok agar memberi jawaban sampai waktu habis.

c. Pendekatan Struktural

Pendekatan ini dikembangkan oleh Spencer Kagen dan kawan-kawannya. Meskipun memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan lain, namun pendekatan ini memberi penekanan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur tugas yang dikembangkan oleh Kagen ini dimaksudkan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional, seperti resitasi, di mana guru mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas dan siswa memberi jawaban setelah mengangkat tangan dan ditunjuk. Struktur yang dikembangkan oleh Kagen ini menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif, daripada penghargaan individual.

Ada struktur yang dikembangkan untuk meningkatkan perolehan isi akadamik, dan ada struktur yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan sosial atau keterampilan kelompok. Beberapa macam struktur yang terkenal adalah thinkpair-share dan numbered-head-together, yang dapat digunakan oleh guru untuk mengajarkan isi akadamik atau untuk mengecek pemahaman siswa terhadap isi tertentu.

1. Think-pair-share (berpikir berpasangan bersama)

Ø Melibatkan 3 langkah struktur cooperative.

Ø Pertama : siswa diam berpikir tentang pertanyaan yang diberikan guru.

Ø Kedua : siswa berpasangan, saling mengajar.

Ø Ketiga : meminta tanggapan dan pasangan yang lain, kelompok yang lain, atau seluruh kelompok.

2. Numbered Heads (kepala bernomor)

Ø Satu tim ditetapkan 4 orang.

Ø Setiap anggota diberi nomor 1, 2, 3, dan 4.

Ø Pertanyaan diberikan kepada kelompok.

Ø Kelompok bekerja sama menjawab pertanyaan juga semua dapat menjawab pertanyaan secara verbal.

Ø Guru memanggil nomor, dan siswa yang dipanggil sesuai dengan nomornya memberikan jawaban.

3. Team Pair Solo (tim pasangan tunggal)

Ø Siswa mengerjakan persoalan pertama dengan kelompok, kemudian dengan pasangan, dan terakhir mereka sendiri. ini didesain untuk mengatrol siswa menyelesaikan problem yang pada awalnya diluar kemampuan mereka. Hal ini berdasarkan pengertian sederhana bahwa siswa dapat mengerjakan sesuatu dengan perantara dan pada mereka bekerja sendiri.

4. Circle the Sage (lingkaran orang bijaksana)

Ø Pertama guru menanyakan kelas untuk melihat siswa yang mana yang memiliki pengetahuan spesial untuk sharing. Pengetahuan tersebut dapat berupa kelebihan pada mata pelajaran tertentu atau pengalaman pribadi.

Ø Siswa “bijaksana” berdiri dan berjalan ke luar ruangan.

Ø Guru lalu menghentikan kelas kemudian mengelilingi “orang bijaksana”, dengan tidak ada dua anggota tim yang sama yang mendatangi “orang bijaksana” yang sama.

Ø “Orang bijaksana” menerangkan apa yang mereka ketahui selama kawan sekelas mendengarkan, menanyakan pertanyaan, dan membawa catatan.

Ø Semua siswa kemudian kembali ke kelompok mereka, menjelaskan kepada anggota kelompok apa yang mereka dengar.

Ø Mereka memperbandingkan hasil catatan, jika ada ketidaksetujuan maka dipecahkan kembali.

d. Jigsaw

Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001). Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dan beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends, 1997). Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif, dengan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dan 4-6 orang secara heterogen dan bekerjasama saling ketergantungan yang positif dan bertanggungjawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends, 1997).

Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang dibenikan, tetapi mereka juga harus siap membenikandan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan” (Lie, A., 1994). Para anggota dan tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim/kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli. Pada model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli”. Kelompok asal, yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dan beberapa ahli. Kelompok ahli, yaitu kelompok siswa yang terdiri dan anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalaini topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut (Arends, 2001).

Para anggota dan kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik yang sama dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut. Setelah pembahasan selesai, para anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat pertemuan kelompok ahli. Jigsaw didesain selain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa secara mandiri juga dituntut saling ketergantungan yang positif (saling memberi tahu) terhadap teman sekelompoknya). Selanjutnya di akhir pembelajaran, siswa diberi kuis secara individu yang mencakup topik materi yang telah dibahas. Kunci tipe Jigsaw ini adalah interdependensi setiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan informasi yang diperlukan dengan tujuan agar dapat mengerjakan kuis dengan baik.

Untuk pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, disusun langkah-langkah pokok sebagai berikut;

(1) Pembagian tugas.

(2) Pemberian lembar ahli.

(3) Mengadakan diskusi.

(4) Mengadakan kuis.

Adapun rencana pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini diatur secara instruksional sebagai berikut (Savin, 1995):

a. Membaca: siswa memperoleh topik-topik ahli dan membaca materi tersebut untuk mendapatkan informasi.

b. Diskusi kelompok ahli: siswa dengan topik-topik ahli yang sama bertemu untuk mendiskusikan topik tersebut.

c. Diskusi kelompok: ahli kembali ke kelompok asalnya untuk menjelaskan topik pada kelompoknya.

d. Kuis: siswa memperoleh kuis individu yang mencakup semua topik.

e. Penghargaan kelompok:(penghitungan skor keompok dan menentukan penghargaan kelompok)

Setelah kuis dilakukan, maka dilakukan perhitungan skor perkembangan individu dan skor kelompok. Skor individu setiap kelompok memberi sumbangan pada skor keompok berdasarkan rentang skor yang diperoleh pada kuis sebelumnya dengan skor terakhir. Arends (1997) memberikan petunjuk perhitungan skor kelompok sebagaimana terlihat dalam Tabel berikut.

Skor Kuis Individu

Skor Perkembangan

1. Lebih dari 10 poin dibawah skor awal

2. 10 poin sampai 1 poin di bawah skor awal

3. Skor awal sampai 10 poin di atasnya

4. Lebih dari 10 di atas skor awal

5. Nilai sempurna (tidak berdasarkan skor awal)

5

10

20

30

30

Untuk menentukan tingkat penghargaan yang diberikan untuk prestasi kelompok, menurut Arends (1997) dapat dilihat dalam penggolongan sebagai berikut : Tingkat Penghargaan Kelompok, Rata- rata kelompok Penghargaan 15 tergolong Good Team (tim yang bagus), 20 tergolong Great Team (tim yang hebat) masuk dalam kategori Super Team (tim yang super).

References

· Deutsch, M. (1962). Cooperation and trust: Some theoretical notes. In M. R. Jones (Ed.), Nebraska symposium on motivation, 275-319. Lincoln, NE: University of Nebraska Press.

· Johnson, D. W. (1991). Human relations and your career (3rd. ed.). Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

· Johnson, D. W. (1993). Reaching out: Interpersonal effectiveness and self- actualization (6th ed.). Needham Heights, MA: Allyn & Bacon.

· Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (1989). Cooperation and competition: Theory and research. Edina, MN: Interaction Book Company.

· Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (1995). Teaching students to be peacemakers (3rd ed.). Edina, MN: Interaction Book Company.

· Johnson, D. W., Johnson, R. T., & Holubec, E. J. (1993). Cooperation in the Classroom (6th ed.). Edina, MN: Interaction Book Company.