Kamis, 19 Juni 2008

Tugas : Epistemologi

Nama : Dwi Wahyuni

NIM : 0805136119

EPISTEMOLOGI

Cara Mendapatkan Pengetahuan yang Benar

PENDAHULUAN

Pengetahuan ada sejak manusia ada. Seiring waktu yang terus berputar tejadi perubahan sosial-kultur serta pola atau konsep berpikir yang berdampak pada perkembangan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Pengetahuan tidaklah sama dengan ilmu. Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk kedalamnya adalah ilmu. Bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar ? Masalah ini yang dalam kajian filsafati disebut epistemologi dan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah. Langkah-langkah dalam metode ilmiah dimulai dari perumusan masalah, penyusunan karangka berfikir, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis sampai kepada penarikan kesimpulan. Namun ternyata tidak semua masalah yang kita hadapi dapat dijawab dengan menggunakan metode ilmiah.

TUJUAN PENULIS

Melihat uraian singkat diatas, maka penulisan ini bertujuan antara lain :

1. Untuk mengetahui dan memahami lebih dalam tentang epistemologi yang dimulai dari mengetahui sejarah singkat pengetahuan.

2. Untuk mengetahui dan memahami metode yang digunakan dalam mendapatkan pengetahuan yang benar.

3. Untuk mengetahui sejauh mana metode ilmiah dapat membantu dalam memecahkan permasalahan yang kita hadapi.

KONSEP UTAMA YANG MUNCUL

Konsep Pertama “Jarum Sejarah Pengetahuan”

Pada masyarakat primitif, pembedaan antara berbagai organisasi kemasyarakatan belum tampak, yang diakibatkan belum adanya pembagian pekerjaan. Seorang ketua suku umpamanya, bisa merangkap hakim, penghulu yang menikahkan, panglima perang, guru besar atau tukang tenung. Seorang ahli di bidang peternakan

ayam akan dianggap ahli dalam masalah perkawinan, kebatinan, perdagangan, ekonomi, seks, kenakalan remaja dan entah apa saja.

Jadi kriteria persamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Pokoknya semua adalah satu apakah itu objeknya, metodenya atau kegunaannya, atau bersifat universal. Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental dengan beerkembangnya Abad Penalaran (The Age of Reason) pada pertengahan abad ke-17, sebelum Charles Darwin menyusun teori evolusinya kita menganggap semua mahluk adalah serupa yang diciptakan dalam waktu yang sama.

Dengan berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada pembedaan. Mulailah terdapat bembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan. Pohon pengetahuan mulai dibeda-bedakan paling tidak berdasarkan apa yang diketahui, bagaaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan. Salah satu cabang pengetahuan itu yang berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dalam segi metodenya, bahkan telah berkembang lebih dari 650 ranting disiplin keilmuan.

Fakta Unik dan Menarik

Akhir-akhir ini mulai terdapat lagi orang yang ingin memutar jarum sejarah kembali dengan mengaburkan batas- batas otonomi masing-masing disiplin keilmuan. Dengan dalih pendekatan inter-disipliner maka berbagai disiplin keilmuan dikaburkan batas-batasnya, perlahan-lahan menyatu dalam kesatuan yang berdifusi.

Pertanyaan yang Muncul

Apakah pendekatan inter-disipliner merupakan suatu keharusan dalam kita mengkaji sebuah ilmu ?

Analisis kritis

Pendekatan inter-disipliner memang merupakan suatu keharusan, namun dengan tidak mengaburkan otonomi masing-masing disiplin keilmuan yang telah berkembang berdasarkan route-nya masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma baru. Paradigma ini adalah bukan ilmu melainkan sarana berfikir ilmiah seperti logika, matematika, statistika dan bahasa. Jelaslah bahwa pendekatan inter-disipliner bukan merupakan fusi antara berbagai disiplin keilmuan yang akan

menimbulkan anarki keilmuan, melainkan suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu, dimana tiap disiplin keilmuan dengan otonominya masing-masing saling menyumbanghkan analisisnya dalam mengkaji objek yang menjadi telahaan bersama.

Konsep kedua “Pengetahuan”

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk kedalamnya ilmu, jadi ilmu merupakan bagian pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.

Pengetahuan ilmiah / ilmu dapat diibaratkan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Ilmu mencoba mancarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal. Akal sehat dan cara coba-coba mempunyai peranan penting dalam usaha menusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.

Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk diterima sebab pada dasarnya adalah akal sehat meskipun ilmu bukanlah sembarang akal sehat melainkan akal sehat yang terdidik. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk dipercaya sebab dia dapat diandalkan meskipun tentu saja tidak semua masalah dapat dipecahkan secara keilmuan. Itulah sebabnya kita masih memerlukan berbagai pengetahuan lain untuk memenuhi kehidupan kita sebab bagaimanapun majunya ilmu secara hakiki dia adalah terbatas dan tidak lengkap.

Pertanyaan yang Muncul

Bagaimana cara kita agar dapat mengembangkan ilmu yang mempunyai kerangka penjelasan yang masuk akal dan sekaligus mencerminkan kenyataan yang sebenarnya ?

Analisis Kritis

Berkaitan dengan pemikiran ini berkembang metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan

pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara konseptual metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana Muslim dan secara sosiologis dimasyarakatkan oleh Francis Bacon. Pengembangan metode eksperimen yang berasal dari Timur mempunyai pengaruh penting terhadap cara berfikir manusia sebab dengan demikian dapat diuji berbagai penjelasan teoritis apakah sesuai dengan kenyataan empiris ataukah tidak. Dengan demikian maka berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berfikir deduktif dan induktif.

Fakta Unik dan Menarik

Warisan Islam terhadap peradaban manusia dalam buku The History of the World karangan Rene Sedillot adalah “pembakaran perpustakaan dan penebangan hutan tanpa sejengkal tanah pun yang ditanami” padahal justru sebaliknya lewat terjemahan yang dilakukan pada peradaban Islam antara abad IX dan XII itulah maka filsafat Yunani bisa dibaca manusia sekarang ini. Demikian juga pertanian Spanyol umpamanya mendapatkan warisan peradaban Islam yang bermanfaat sampai hari ini yakni dalam bentuk sistem irigasi yang bersumber pada penghargaan bangsa Arab yang sangat tinggi terhadap air yang sangat langka di padang pasir.

Konsep Ketiga “Metode Ilmiah”

Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Metode ilmiah merupakan merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran. Dengan cara bekeja ini maka pengetahuan yang dihsilkan diharapkan mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruju yang menggabungkan cara berfikir deduktif dan induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya. Metodologi ilmiah merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode ilmiah. Metodologi ini secara filsafati termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan.

Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Pada saat kita menghadapi masalah maka proses kegiatan berpikir dibmulai, dan karena masalah ini berasal dari dunia empiris maka proses berpikir terseut diarahkan pada pengamatan objek yang bersangkutan yang bereksistensi dalam dunia empiris pula. Dalam menghadapi masalah, maka manusia memberikan reaksi yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan cara berpikir mereka.

Ada bermacam sumber dan cara mendapatkan pengetahuan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi.

Berdasarkan sikap manusia menghadapi masalah ini maka Van Peursen membagi perkembangan kebudayaan menjadi tiga tahap yakni tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. Tahap mistis adalah sikap manusia yang merasa dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya. Tahap ontologis adalah sikap manusia yang merasa dirinya tidak lagi terkepung oleh kekuatan gaib dan bersikap mengambil jarak dari objek di sekitarnya serta memulai melakukan penelaahan-penelaahan terhadap objek tersebut. Tahap fungsional adalah sikap manusia yang buakan saja merasa terbebas dari kepungan kekuatan gaib dan mempunyai pengetahuan berdasarkan penelaahan terhadap objek-objek di sekitar kehidupannya, namun lebih dari itu dia memfungsikan pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya.

Ilmu mulai berkembang pada tahap ontologis, dimanan manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah yang dihadapi yang memungkinkan manusia mengenal ujud masalah itu untuk kemudian ditelaah dan dicarikan pemecahan jawabannya. Secara ontologis ilmu membatasi masalah yang dikajinya hanya pad amasalah yang yang terdapat dalam ruang lingkup jangkauan pengalaman manusia. Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta.

Dalam melakukan pembuktian seorang ilmuwan pada mulanya bersifat skeptis (selalu meragukan segala sesuatu) namun diakhiri dengan percaya atau tidak percaya. Hal ini berbeda dengan penelaahan bidang lain, umpamanya agama, dimana pengkajian agama dimulai dengan percaya dan diakhiri dengan makin percaya atau mungkin jadi ragu.

Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :

1. Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya,

2. Penyusunan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk konstelasi permasalahan

3. Rumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang dijukan.

4. Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis,

5. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah suatu hipotesis yang diajukan ditolak atau diteima.

Fakta Unik dan Menarik

Ilmu yang bersifat konsisten karena penemuan yang satu didasarkan pada penemuan sebelumnya ternyata tidak seluruhnya benar, karena sampai saat ini belum satupun dari sekuruh disiplin keilmuan yang telah berhasil menyusun satu teori yang konsisten dan menyeluruh. Sejarah ilmu telah mencatat betapa banyak kebenaran ilmiah dimasa lalu yang sekarang ini tidak dapat diterima lagi karena manusia telah menemukan kebenaran lain yang ternyata lebih dapat diandalkan.

Pertanyaan yang Muncul

Apakah kelebihan sekaligus kekurangan dari hakikat ilmu itu ?

Analisis Kritis

Sifat pragmatis dari ilmu yang sebenarnya menjadi kelebihan dan sekaligus kekurangan dari hakikat ilmu. Sikap pragmatis dari ilmu adalah cocok dengan perkembangan peradaban manusia di mana telah terbukti secara nyata peranan ilmu dalam membangun peradadaban tersebut. Ilmu, terlepas ari berbagai kekurangannya, dapat memberikan jawaban positif terhadap permasalahan yang dihadapi manusia pada waktu tertentu.

Ilmu memandang kebenaran sebagai tujuan yang mungkin dapat dicapai namun tak pernah sepenuhnya tangkapan kita itu sampai. Seperti dikatakan oleh pujangga Hasan Mustapa : manusia itu jarang betulnya, kalaupun betul sekedar kebetulan ; manusia itu jarang salahnya, kalaupun salah sekedar kesalahan. Mungkin dalam situasi seperti inilah maka menonjol sekali sikap moral dan intelektual ilmuwan terhadap kebenaran dengan cara yang sejujur-jujurnya.

Untuk hal-hal yang bersifat asasi, manusia membutuhkan kemutlakan dan buka sekedar sesementaraan yang bersifat relatif. Dalam hal ini maka ilmu dengan segala atributnya tidak dapat memberikan jalan keluar dan manusia harus berpaling kepada sumber lain yakni agama. Mereka yang sungguh-sungguh berilmu adalah mereka yang mengetahui kelebihan dan kekurangan ilmu. Di atas dasar itu, mereka

menerima ilmu sebagaimana adanya, mencintainya dengan bijaksana serta menjadikan dia bagian dari kepribadian dan kehidupannya.

Konsep Keempat “Struktur Pengetahuan Ilmiah”

Anggapan bahwa ilmu dikembangkan hanya oleh para jenius saja yang bergerak dalam bidang keilmuan tidaklah benar. Ilmu secara kuantitatif dikembangkan oleh masyarakat keilmuan secara keseluruhan, meskipun secara kualitatif beberapa orang jenius seperti Newton atau Einstein merumuskan landasan-landasan baru yang bersifat mendasar. Pengetahuan ilmiah pada hakikatnya mempunyai tiga fungsi, yakni menjelaskan, meramalkan dan mengontrol. Tantum possumus, ujar Francis Bacon, quatum scimus.

Secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan yakni deduktif, probabilistik, fungsional atau teleologis, dan generik. Penjelasan deduktif mempergunakan cara berpikir deduktif dalam menjelaskan suatu gejala dengan menarik kesimpulan secara logis dari premis yang diajukan sebelumnya. Penjelasan probabilistik merupakan penjelasan yang ditarik secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan kepastian seperti penjelasan deduktif melainkan penjelasan yang bersifat peluang “kemungkinan”. Penjelasan fungsional atau teleologis merupakan penjelasan yang melaetakkan sebuah unsur dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah perkembangan tertentu. Penjelasan genetik merupakan faktor-faktor yang timbul sebelumnya dalam menjelaskan gejala yang muncul kemudian.

Beberapa disiplin keilmuan sering mengembangkan apa yang disebut postulat dalam menyusun teorinya. Postulat merupakan asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa pembuktiannya. Kebenaran ilmiah pada hakikatnya harus disahkan lewat sebuah proses yang disebut metode keilmuan. Postulat ilmiah ditetapkan tanpa melalui prosedur ini melainkan ditetapkan secara begitu saja.

Pertanyaan yang Muncul

Secara filsafati sebenarnya eksisitensi postulat tidak sukar untuk dimengerti, namum kehadirannya menyimpang dari prosedur yang ada, sebab bukankah sebuah argumentasi harus didasarkan kepada sesuatu ? Seperti kita ingin mengelilingi sebuah lingkaran maka kita harus mulai dari sebuah titik, dan postulat adalah ibarat sebuah titik dalam lingkaran yang eksistensinya kita tetakan secara sembarang.

Analisis Kritis

Walaupun demikian mesti terdapat alasan yang kuat dalam menetapkan sebuah postulat. Seperti kita memili dari titik mana kita akan mulai mengelilingi sebuah lingkaran tentu saja kita mempunyai alasan mengapa kita mulai dari titik B dan bukan dari titik A. Namun sebagai postulat kita tidak membuktikan bahwa titik B adalah benar dan titik A adalah salah, melainkan sekedar menjelaska bahwa sekiranya kita mulai dari titik A yang kebetulan koordinatnya membentuk sudut nol derajat dengan sumbu vertikal lingkaran, maka kita akan berhenti pada sebuah titik tertentu. Tentu saja sekiranya kita mulai dari titik yang lain maka kita akan berakhir pada titik yang berbeda pula.

Sebuah postulat dapat diterima sekiranya ramalan yang bertumpu kepada postulat kebenarannya dapat dibuktikan. Bila postulat dalam pengajuannya tidk memerlukan bukti tentang kebenarannya maka hal ini berlainan dengan asumsi yang harus ditetapkan dalam sebuah argumentasi ilmiah. Asumsi harus merupakan pernyataan yang kebenarannya dapat diuji secara empiris.

Fakta Unik dan Menarik

Penelitian yang bertujuan untuk menemukan pengetahuan baru yang sebelumnya belum pernah diketahui dinamakan penelitian murni atau penelitian dasar. Asedangkan penelitian yang bertujuan untuk mempergunakan pengetahuan ilmiah yang telah diketahui untuk memecahkan masalah kehidupan yang bersifat paktis dinamakan penelitian terapan.

Diperlukan waktu yang cukup lama untuk menerapkan penemuan-penemuam ilmiah yang baru kepada pemanfaatan yang berguna. Terdapat selang waktu 250 tahun antara percobaan yang pertama tentang magnet oleh William Gilbert dengan dikembangkannya teori elektromagnetik oleh James Clerk Maxwell sekitar tahun 1870. Penemuan Henri Bacquerel tentang sinar-x baru dapat diterapkan dalam praktek setelah 25 tahun kemudian.

REFLEKSI DIRI SETELAH MEMBACA

Setelah membaca, memahami dan menelaah kajian epistemologi, maka saya menjadi tahu dan sedikit memahami bagaimana cara mendapatkan pengetahuan secara benar. Dalam menyusun pengetahuan secara benar, menggunakan akal sehat yang terdidik dan mengembangkan penalaran, sebab dalam kehidupan yang nyata

banyak masalah yang dihadapi memerlukan pemecahan secara arif dan bijaksana dengan pendekatan filsafati dan agama.

Walaupun metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, tetapi metode ilmiah tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan yang tidak termasuk kelompok ilmu, yaitu matematika dan bahasa. Matematika bukanlah ilmu melainkan pengetahuan yang merupakan sarana berpikir ilmiah sedangkan bahasa ( bidang sastra) termasuk kepada humanoria yang jelas tidak tidak menggunakan metode ilmiah dalam menyusun pengetahuannya.

Ilmu memandang kebenaran sebagai tujuan yang mungkin dapat dicapai namun tak pernah tak pernah sepenuhnya tangkapan itu sampai.Hal ini dapat dimaknai bahwa berbicara tentang kebenaran secara teori memang mudah, tetapi dalam prakteknya berbicara tentang kebenaran belum sepenuhnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari hal ini tidak mustahil dapat terwujud apabila dalam diri kita telah ternaman akhlak dan moral kejujuran dalam setiap tindakan.

FILSAFAT ILMU

Sebuah Pengantar Populer

Tahun Terbit Juli 2007

Biografi Pengarang

Jujun Suparjan Suriasumantri, lahir di Tasikmalaya tanggal 9 April 1940. Setelah melalui pendidikan SD V,SMP III dan SMA II yang semuanya berada di Bandung, Kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor (IPB), dan lulus dalam tahun 1969. selama menjadi mahasiswa aktif dalam berbagai kegiatan nonkeilmuan seperti ketua teater, sutradara drama, ketua mampran IPB, dirigen orkes angklung IPB dan aksi-aksi mahasiswa. Pada tahun 1971 melanjutkan studi ke Harvard University dengan beasiswa Unesco dan lulus sebagai Doktor dalam Perencanaan Pendidikan dengan spesialisasi sistem analisis dan PPBS dalam tahun 1975.

Pengalaman dalam pekerjaan antara lain sebagai teaching assistant (1972) dan research assistant (1973) di Harvard University, dosen tataniaga (1969-1971) dan manajemen (1975-1980) di IPB, staf ahli pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) Departemen P dan K (1975-1980) dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Panitia Penyusunan Rencana Strategi (1976) dan Repelita-III (1976-1978) Depdikbud, anggota Kelompok Kerja bidang Kebudayaan Mendikbud (1984), anggota Kelompok Kerja Pengumpulan Materi GBHN 1988 Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1985) serta dosen Metodologi Penelitian di Seskoal (sejak 1981) dan Lemhannas (sejak 1982). Sekarang menjabat sebagai Pembantu Rektor bidang Akademik dan Ketua Program Doktor Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta.

Buku yang telah diterbitkan adalah Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Gramedia, 1978), Systems Thinking (Bandung: Binacipta, 1981) dan A Perspective of PPBS in the United States Federal Government Agencies: Lessons from Experience (Bandung: Binacipta, 1981). Keanggotaan profesional termasuk Operations Research Society of America (ORSA), Phi Delta Kappa, International Society of Educational Planners, the institute of Management Science dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial.

Menikah dengan Nina Dachliana dan berputra Donni Iqbal Suriasumantri.

Tidak ada komentar: